Kamis, 14 November 2013

Tentang Estetika . . .


Pengertian Estetika
Estetika dalam pengertian konvensional tidak hanya mengacu pada keindahan, tetapi estetika menjadi sebuah wacana dan fenomena (Sachari 2002: 2). Dewasa ini estetika menjadi wacana bahwa banyak budaya barat yang secara menggebu-nggebu masuk ke dalam budaya timur. Konsep estetika barat masuk bersama budaya tersebut. Sehingga para ahli estetika atau para budayawan yang membincangkan hal tersebut. 

Beberapa pengertian estetika dan lingkupnya yang dikutip dari Sachari (2002: 3) dapat dicermati di bawah ini:
  1. Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni (Kattsoff, Element of Philosophy, 1953).
  2. Estetika merupakan suatu telatah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengayn kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (van Mater Ames, Colliers Encyclopedia, vol. 1).
  3. Estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis (John Hosper, dalam Estetika Terapan, 1989).
  4. Estetika mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni, atau artifak yang disebut seni (Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, 2000).


Kata estetika dikutip dari bahasa Yunani, yakni aisthetikos atau aisthanomai yang memiliki arti “mengamati dengan indera” (Lexicon Webster Dic dalam Triyanto 2010: 4). Estetika dalam pandangan Feldman merupakan ilmu pengetahuan pengamatan atau ilmu pengetahuan inderawi yang mengacu pada kesan-kesan inderawi. J. Addison menyandingkan estetika dengan teori cita rasa yang mengacu pada tradisi empiris dan pandangan platonis dan neoplatonis. Demikian halnya Dickie (1989) mengembangkan teori tentang estetika yang dibagi menjadi lima bagian, yakni: 
(a) persepsi, 
(b) cita rasa, 
(c) produk mental, 
(d) objek pengamatan, dan 
(e) pertimbangan rasa. 
Bila dilihat berdasarkan struktur yang dibuat oleh Dickie maka teori pengamatan atau inderawi identik dengan teori cita rasa. 

Menurut Jerome Stolnitz (dalam Triyanto 2010: 5) estetika merupakan suatu telaah filsafat keindahan dan keburukan. Stolnitz mengatakan bahwa estetika adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral yang berkaitan dengan karya seni. Sedangkan John Hosper mengartikan estetika sebagai salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis, estetika tidak hanya sekedar mempermasalahkan tentang objek seni, melainkan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan suatu karya yang indah. Dalam hal ini, Aristoteles merumuskan keindahan sebagai suatu yang baik dan menyenangkan. Sementara itu, orang Yunani menyatakan bahwa keindahan berkaitan dengan tradisi atau adat kebiasaan. Oleh karena itu, estetika secara luas berkaitan dengan keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan intelektual. 




Keterkaitan Antara Estetika Dan Karya Seni
      Antara estetika dan karya seni memiliki hubungan yang kuat seakan tidak bisa dipisahkan oleh suatu jarak. Hal ini disebabkan karena adanya satu kesatuan antara estetika dan karya seni. Satu kesatuan tersebut amatlah bermakna dan menjadi sesuatu  yang mendasar. Dalam hal ini akan memunculkan sebuah konsep yang biasa disebut dengan the beauty and the ugly yang merupakan perkembangan lebih lanjut yang menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan. 
Sejarah penilaian keindahan sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. Tokoh-tokoh ahli falsafah barat klasik seperti Plato, Aristoteles, dan Hegel meneliti tentang persoalan keindahan melalui pembicaraan dalam bentuk estetika. Misalnya Plato dalam bukunya Symposium telah menghuraikan panjang lebar mengenai persoalan objek cinta ialah keindahan. Dalam bukunya itu beliau menyampaikan dalam bentuk dialog-dialog watak utama seperti Phaedrus, Eryximachus, Aristophanes, Agathon dan Socrates. Terang-terang dalam dialog watak ini menyatakan bahawa proses mencintai tentang keindahan itu perlu diasaskan pada zaman kanak-kanak lagi.
Sebenarnya bangsa Yunani kuno telah menghayati pengalaman keindahan sebagai mewarisi bangsa mereka. Bangsa Yunani juga mengenal kata keindahan dalam arti estetik yang disebutnya sebagai symmetria untuk keindahan visual. Sementara perkataan harmonia adalah keindahan pendengaran. Lantaran itu pengertian keindahan adalah meliputi persoalan keindahan seni, alam, moral, dan intelektual. 




Kesimpulan
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, yaitu tentang terbentuknya suatu keindahan dan seseorang bisa merasakannya. Antara estetika dan karya seni memiliki hubungan yang kuat seakan tidak bisa dipisahkan oleh suatu jarak. Hal ini disebabkan karena adanya satu kesatuan antara estetika dan karya seni. Satu kesatuan tersebut amatlah bermakna dan menjadi sesuatu  yang mendasar.
Sejak jaman Yunani Kuno, ahli-ahli falsafah telah membicarakan tentang kesenian dan hubungannya dengan seniman. Sebagai contoh Plato dengan tegasnya tidak menerima para seniman dan menyatakan bahwa para seniman sepatutnya dibuang dari republik atau negeri. Alasan beliau bahwa seniman adalah seorang yang suka meniru objek fisikal dan menipu dalam penghasilan karya. Karya seniman bukanlah sesuatu sumber sebenar untuk dijadikan sumber pengetahuan. Sebagai contoh dalam dialognya berkata, kalau manusia ingin mengkaji kursi mesti melihat kursi sebenarnya bukan lukisan atau karya kursi. Beliau juga menyatakan bahawa karya lukisan boleh menjadi menghalang manusia daripada pengetahuan sebenarnya. Oleh karena itu beliau membicarakan persoalan kesenian dalam falsafah kehidupan manusia. Sementara itu Aristoteles telah mempertahankan mengenai mimesis dan menyatakan bahwa peniruan itu adalah satu unsur yang perlu dan ada dalam fitrah manusia. Pada dasarnya manusia sering meniru alam ciptaan Tuhan. 

  
Dari berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar